Laman

Kamis, 27 September 2012

Putihku Juga Hitamku (part 2)

            Sedikit berkabut. Kurasakan embun di pagi hari yang cerah menyentuh wajahku dengan lembut. Di tanah lapang yang gersang itu aku berjalan santai seakan-akan aku sudah terbiasa menyinggahinya, padahal-sekali lagi-aku tidak mengenali tempat itu. Ku hirup udara segar dalam-dalam. “Mmm...” aku menggumam pelan. Ku lihat sesosok lelaki bertubuh kurus yang lebih tinggi beberapa belas sentimeter dariku sedang berjalan dengan santainya di depanku. Ia mengenakan pijama, sama dengan apa yang ku kenakan. Dan entah mengapa aku mengikutinya  menuju beranda rumah bertingkat dua tidak jauh dari kami. Dengan jarak dua meter di belakangnya, aku terus mengikutinya seolah akan terjadi sesuatu yang sangat penting. Aku bisa merasakannya. Tiba-tiba aku merasakan sebuah rasa aneh yang meluap-luap di dada yang setengah mati ku tahan. Sampai kami berhenti di balik beranda. Dari belakang aku bisa menebak siapa orang ini. Apa mungkin... Beno! seruku dalam hati. Ya, dia teman satu organisasi di sekolahku. Jabatannya sebagai ketua dan aku sebagai wakil ketua membuat kami lebih sering berdiskusi dibandingkan dengan anggota lain. Terutama jika sedang mengejar deadline tugas yang diberikan. Kami pun akhirnya berhenti. Dia yang membelakangi rumah berdiri tepat di samping kiriku dengan wajah datar. Aku memutar tubuhku sehingga aku tiba-tiba bisa mengusap wajah tampannya dari mulai dahi hingga dagu seraya berucap, “kamu gak papa kan? Baik-baik aja kan?” dengan tergesa sambil berkali-kali menyentuh dahinya yang terasa agak basah dan terasa hangat, lalu aku berkata dengan lega “Oh..udah lumayan.” Entah kenapa aku merasa dia sangat berarti bagiku. Karena dia tidak kunjung sembuh dari sakitnya selama beberapa hari membuatku sangat khawatir. Aku jadi keheranan setelah melihat dia baik-baik saja, seperti tidak terjadi apa-apa.”Kamu jangan khawatir, aku baik-baik aja kok.” Responnya datar. “Udah... gak usah terlalu dipikirin, semuanya baik-baik aja.” Lanjutnya kalem tanpa merubah ekspresinya sedikitn pun. Sejurus kemudian aku memeluknya dari samping, merengkuhnya dalam dekapan erat lenganku. Aku merasakan kehangatan, kedamaian, dan kelegaan di sana. Bahagia rasanya akhirnya aku bisa mengekspresikan rasa sayangku padanya.
       Pada saat bersamaan, aku melihat seorang lelaki sedang tersenyum di seberang tanah lapang tersebut. Dia duduk di atas pohon tua yang rendah dengan balutan sweater coklat tua dan jeans hitam. Embun pagi yang bersatu membentuk kabut tipis membuatku tidak bisa mengenali wajah rupawannya dengan pasti. Samar-samar aku melihat dia tersenyum pahit dengan tatapan sendu matanya, aku bisa merasakan kegetiran di hatinya. Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu yang membuatku cepat-cepat melepaskan pelukanku. Sepertinya Beno tidak menyadarinya, atau jangan-jangan tidak peduli. Terserahlah... yang jelas aku sangat lega karenanya. Aneh sekali. Lalu kupandangi wajah tampan Beno, tidak kalah dengan.. Uray!! Tiba-tiba saja memori otakku kacau. Kulempar lagi pandanganku ke seberang sana. Hampa, dia sudah pergi entah kemana. Ada sedikit sesal di hatiku. Tapi aku tak tahu kenapa. Sempat terbersit di benakku untuk mengejar dan mencarinya, tapi pikiranku menyuruhku tetap diam dan membuatku lebih memilih Beno. Yang paling membuatku heran adalah kenapa tiba-tiba yang muncul adalah sosok Beno, figur yang tidak pernah aku angan-angankan, padahal aku berniat menjenguk Uray yang sedang sakit berhari-hari. Tapi kenapa semuanya menjadi kacau, dan ironisnya aku merasa biasa-biasa saja, seolah-olah memang begini adanya dan yang semestinya terjadi.

       Kemudian Beno mengajakku masuk ke rumahnya. Di ruang tamu, ku lihat seorang wanita paruh baya sedang duduk santai di atas karpet sambil memandangi kami lekat-lekat. Kami mendekatinya dan wanita itu langsung menanyakan pendapatku tentang tata letak perabotan di rumah itu, terutamai ruangan tamu. Belum sempat aku melihat-lihat isi rumah dan berpendapat, tiba-tiba...

Jumat, 21 September 2012

Putihku Juga Hitamku

     Malam itu hujan mengguyur kota yang sangat asing bagiku. Aku keluar dari sebuah toko, berniat untuk membeli makanan di dekat situ, karena perutku yang tidak mau kompromi mengingat belum ada makanan yang masuk sejak tadi pagi. Sampai di beranda toko, aku terpaku sejenak. Aku melihat seorang pemuda tampan yang tegak berdiri di seberang jalan, di atas trotoar di depan sebuah penginapan. Memori otakku pun berputar, seperti kepingan puzzle yang mulai terbentuk dan terbaca. Aku ingat ! Uray, orang yang sangat berarti bagiku sedang sakit. Sudah beberapa hari ini aku berniat untuk menjenguknya, berharap agar sakitnya akan berkurang. Tapi kenapa dia ada di sini ? Mobil-mobil dan beberapa kendaraan lain pun tetap menghiasi jalan yang agak lengang karena hujan. Sekelebat aku bisa melihatnya melambaikan tangan kepadaku sambil mengucapkan beberapa kata yang tidak begitu jelas kutangkap. Sepertinya dia memanggil namaku. Namun aku hanya tersenyum dan kujawab dengan kode yang dibentuk dengan jari dan tanganku. Aku harap dia paham dan mau menungguku di sana.
     Aku lalu membeli dua buah cake dengan siraman coklat panas. Hmm...pasti enak sekali. Ketika pelayan menyiramkan coklat panas di dalamnya, aku membayangkan makan bersamanya nanti, berbagi cerita, dengan senyumnya yang membuat suasana menjadi semakin hangat di tengah dinginnya hujan yang menusuk. Seulas senyum tanpa kusadari terbentuk. Setelah membayar, aku langsung berlari. Semoga saja dia mengerti. Lagi-lagi aku berharap. Aku akan menjelaskan semuanya. Pikiranku pun berkecamuk. Kenapa akhir-akhir ini dia banyak berubah. Sikapnya, ahh.. membuatku semakin khawatir. Pasalnya, dia belum pernah marah padaku hanya karena hal-hal sepele. Pasti kali ini ada masalah besar, sehingga membuatnya kesal dan tak sabar. Anehnya, aku tidak begitu menyadarinya. mungkin aku terlalu egois. Akhirnya aku menghentikan langkahku, akupun tersenyum kecut, pahit rasanya begitu melihat dia tak lagi berdiri di sana. Tubunhku lunglai, tak bertenaga, sia-sia. lelaki berpakaian serba hitam itu kini telah menghilang entah kemana. Hujan telah reda, tapi hati ini mulai menangis, menumpahkan segala sesal dalam diam dan mematung. "Hhh...." aku hanya bisa menghela nafas dalam keputusasaan yang mendalam.
      Aku terus berpikir, apa selama ini dia merasa kalau aku mencampakkannya dan telah membuatnya sakit dengan sikapku yang aku sendiri tak tahu apa salahku ? Bingung. Aku harus bagaimana menyikapinya ? Lantas aku pun berjalan lunglai menuju apartemen bobrokku di pojok jalan beraspal hitam ini. Sehitam awan kecilku sekarang, senada dengan pakaian dan warna favorit Urayku. Aku pun tersenyum getir melihat ironi ini.

Selasa, 29 Mei 2012

PEMUDA DAN GADIS SUCI

Ada seorang pemuda bernama Tsabit bin Ibrahim. Ketika ia melewati jalan setapak di samping sebuah kebun, tiba-tiba sebuah apel jatuh dari pohonnya. Tsabit mengambil dan memakannya separuh. Tidak lama, ia menyadari apel itu bahwa apel itu bukan miliknya.
Tsabit masuk ke kebun dan menemui seseorang di sana.Ia meminta agar direlakan apel yang telah dimakannya. Namun tukang kebun itu bukanlah pemiliknya.Pemilik kebun itu tinggal di tempat yang sangat jauh. Setelah mengetahui arah rumah sang pemilik kebun, Tsabit pun memutuskan untuk pergi ke sana.
Sesampainya di rumah sang pemilik kebun, Tsabit pun memperkenlkan diri dan memintakan keikhlasan atas apel yang telah dimakannya. Pemilik kebun itu merasa kagum dengan kejujuran Tsabit.
"Aku akan mengikhlaskan apel itu dengan satu syarat. Engkau harus menikahi putriku," kata si pemilik kebun. Tsabit pun menyetujuinya.
"Akan tetapi ia buta, tuli, bisu, dan tidak bisa berjalan." Kata si pemilik kebun melanjutkan. Tsabit tak menolaknya. Ia tetap menyetujuinya karena ingin mencari keridhaan Allah.
Setelah menikah, Tsabit menemui istrinya. Ia terkejut karena istrinya tidak seperti yang diceritakan ayahnya. Istrinya adalah seorang yang cantik, tidak buta, tidak bisu, dan tidak cacat. Melihat keherana Tsabit, istrinya pun menjelaskan, "aku buta dari hal-hal yang diharamkan Allah, aku tuli dari suara-suara yang tidak diridhai Allah, aku bisu karena hanya menggunakan lidahku untuk berdzikir, aku cacat karena kakiku ini hanya digunakan untuk melangkah ke tempat yang diridhai Allah."Akhirnya mereka hidup bersama dalam ketaatan pada Allah SWT. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang kemudian menjadi seorang imam dan terkenal dengan nama Imam Abu Hanifah.
Allah menyukai orang-orang yang selalu menjaga kesucian dirinya untuk mendapatkan ridha-Nya.

Kisah Cinta Sejati "Catatan Buku Cokelat"

Lima tahun usia pernikahanku dengan Ellen sungguh masa yang sulit. Semakin hari semakin tidak ada kecocokan diantara kami. Kami bertengkar karena hal-hal kecil. Karena Ellen lambat membukakan pagar saat aku pulang kantor. Karena meja sudut di ruang keluarga yang ia beli tanpa membicarakannya denganku, bagiku itu hanya membuang uang saja.
Hari ini, 27 Agustus adalah ulang tahun Ellen. Kami bertengkar pagi ini karena Ellen kesiangan membangunkanku. Aku kesal dan tak mengucapkan selamat ulang tahun padanya, kecupan di keningnya yang biasa kulakukan di hari ulang tahunnya tak mau kulakukan. Malam sekitar pukul 7, Ellen sudah 3 kali menghubungiku untuk memintaku segera pulang dan makan malam bersamanya, tentu saja permintaannya tidak kuhiraukan.
Jam menunjukkan pukul 10 malam, aku merapikan meja kerjaku dan beranjak pulang. Hujan turun sangat deras, sudah larut malam tapi jalan di tengah kota Jakarta masih saja macet, aku benar-benar dibuat kesal oleh keadaan. Membayangkan pulang dan bertemu dengan Ellen membuatku semakin kesal! Akhirnya aku sampai juga di rumah pukul 12 malam, dua jam perjalanan kutempuh yang biasanya aku hanya membutuhkan waktu 1 jam untuk sampai di rumah.
Kulihat Ellen tertidur di sofa ruang keluarga. Sempat aku berhenti di hadapannya dan memandang wajahnya. “Ia sungguh cantik” kataku dalam hati, “Wanita yang menjalin hubungan denganku selama 7 tahun sejak duduk di bangku SMA yang kini telah kunikahi selama 5 tahun, tetap saja cantik”. Aku menghela nafas dan meninggalkannya pergi, aku ingat kalau aku sedang kesal sekali dengannya.
Aku langsung masuk ke kamar. Di meja rias istriku kulihat buku itu, buku coklat tebal yang dimiliki oleh istriku. Bertahun-tahun Ellen menulis cerita hidupnya pada buku coklat itu. Sejak sebelum menikah, tak pernah ia ijinkan aku membukanya. Inilah saatnya! Aku tak mempedulikan Ellen, kuraih buku coklat itu dan kubuka halaman demi halaman secara acak.
14 Februari 1996. Terima kasih Tuhan atas pemberianMu yang berarti bagiku, Vincent, pacar pertamaku yang akan menjadi pacar terakhirku.
Hmm… aku tersenyum, Ellen yakin sekali kalau aku yang akan menjadi suaminya.
6 September 2001, Tak sengaja kulihat Vincent makan malam dengan wanita lain sambil tertawa mesra. Tuhan, aku mohon agar Vincent tidak pindah ke lain hati.
Jantungku serasa mau berhenti…
23 Oktober 2001, Aku menemukan surat ucapan terima kasih untuk Vincent, atas candle light dinner di hari ulang tahun seorang wanita dengan nama Melly. Siapakah dia Tuhan? Bukakanlah mataku untuk apa yang Kau kehendaki agar aku ketahui…
Jantungku benar-benar mau berhenti. Melly, wanita yang sempat dekat denganku disaat usia hubunganku dengan Ellen telah mencapai 5 tahun.
Melly, yang karenanya aku hampir saja mau memutuskan hubunganku dengan Ellen karena kejenuhanku. Aku telah memutuskan untuk tidak bertemu dengan Melly lagi setelah dekat dengannya selama 4 bulan, dan memutuskan untuk tetap setia kepada Ellen. Aku sungguh tak menduga kalau Ellen mengetahui hubunganku dengan Melly.
4 Januari 2002, Aku dihampiri wanita bernama Melly, Ia menghinaku dan mengatakan Vincent telah selingkuh dengannya. Tuhan, beri aku kekuatan yang berasal daripadaMu.
Bagaimana mungkin Ellen sekuat itu, ia tak pernah mengatakan apapun atau menangis di hadapanku setelah mengetahui aku telah menghianatinya. Aku tahu Melly, dia pasti telah membuat hati Ellen sangat terluka dengan kata-kata tajam yang keluar dari mulutnya. Nafasku sesak, tak mampu kubayangkan apa yang Ellen rasakan saat itu.
14 Februari 2002, Vincent melamarku di hari jadi kami yang ke-6. Tuhan apa yang harus kulakukan? Berikan aku tanda untuk keputusan yang harus kuambil.
14 Februari 2003, Hari minggu yang luar biasa, aku telah menjadi Nyonya Alexander Vincent Winoto. Terima kasih Tuhan!
18 Juli 2005, Pertengkaran pertama kami sebagai keluarga. Aku harap aku tak kemanisan lagi membuatkan teh untuknya. Tuhan, bantu aku agar lebih berhati-hati membuatkan teh untuk suamiku.
7 April 2006, Vincent marah padaku, aku tertidur pulas saat ia pulang kantor sehingga ia menunggu di depan rumah agak lama. Seharian aku berada mall mencari jam idaman Vincent, aku ingin membelikan jam itu di hari ulang tahunnya yang tinggal 2 hari lagi. Tuhan, beri kedamaian di hati Vincent agar ia tidak marah lagi padaku, aku tak akan tidur di sore hari lagi kalau Vincent belum pulang walaupun aku lelah.
Aku mulai menangis, Ellen mencoba membahagiakanku tapi aku malah memarahinya tanpa mau mendengarkan penjelasannya. Jam itu adalah jam kesayanganku yang kupakai sampai hari ini, tak kusadari ia membelikannya dengan susah payah.
15 November 2007, Vincent butuh meja untuk menaruh kopi di ruang keluarga, dia sangat suka membaca di sudut ruang itu. Tuhan, bantu aku menabung agar aku dapat membelikan sebuah meja, hadiah Natal untuk Vincent.
Aku tak dapat lagi menahan tangisanku, Ellen tak pernah mengatakan meja itu adalah hadiah Natal untukku. Ya, ia memang membelinya di malam Natal dan menaruhnya hari itu juga di ruang keluarga.
Aku sudah tak sanggup lagi membuka halaman berikutnya. Ellen sungguh diberi kekuatan dari Tuhan untuk mencintaiku tanpa syarat. Aku berlari keluar kamar, kukecup kening Ellen dan ia terbangun… “Maafkan aku Ellen, Aku mencintaimu, Selamat ulang tahun…”

Pelajaran Bersyukur Dari Ayah...


Suatu ketika seorang Ayah dari keluarga yang sangat kaya raya bermaksud memberi pelajaran kepada anaknya agar Anaknya dapat tahu seperti apakah kehidupan orang miskin itu.
Lalu mereka pun menginap beberapa hari di rumah keluarga petani yang sangat miskin, di sebuah dusun di tepi hutan.

Dalam perjalanan pulang Sang Ayah bertanya kepada Anaknya...

Ayah : "Bagaimana perjalanan kita Nak?"
Anak : "Sangat menarik Yah..."
Ayah : "Kamu melihat bagaimana orang miskin hidup?"
Anak : "Ya Ayah"
Ayah : "Jadi, apa yang dapat kamu pelajari dari perjalanan kita ini?"
Anak : "Yang saya pelajari......Hmm......


1. Kita memiliki satu anjing untuk menjaga rumah kita, sedangkan Mereka memiliki empat anjing untuk berburu...
2. Kita punya kolam renang kecil di taman, Mereka punya sungai yang tiada batasnya!
3. Kita punya lampu untuk menerangi taman kita, Mereka memiliki bintang yang bersinar di malam hari...
4. Kita memiliki lahan yang kecil untuk hidup, Mereka hidup bersama alam...
5. Kita punya pembantu untuk melayani kita, tapi Mereka hidup untuk melayani orang lain...
6. Kita punya pagar yang tinggi untuk melindungi kita, Mereka punya banyak teman yang saling melindungi..."

Ayah : "......" (Terhanyut kagum dan tidak bisa berkata apa-apa)

Sang Ayah tercengang diam tak menyangka akan mendengar jawaban yang keluar dari mulut Anaknya tersebut...

Lalu Sang Anak melanjutkan...
"Terima kasih Ayah, karena Ayah telah menunjukkan betapa miskinnya kita..."