Sedikit berkabut. Kurasakan embun
di pagi hari yang cerah menyentuh wajahku dengan lembut. Di tanah lapang yang
gersang itu aku berjalan santai seakan-akan aku sudah terbiasa menyinggahinya,
padahal-sekali lagi-aku tidak mengenali tempat itu. Ku hirup udara segar
dalam-dalam. “Mmm...” aku menggumam pelan. Ku lihat sesosok lelaki bertubuh
kurus yang lebih tinggi beberapa belas sentimeter dariku sedang berjalan dengan
santainya di depanku. Ia mengenakan pijama, sama dengan apa yang ku kenakan. Dan
entah mengapa aku mengikutinya menuju
beranda rumah bertingkat dua tidak jauh dari kami. Dengan jarak dua meter di
belakangnya, aku terus mengikutinya seolah akan terjadi sesuatu yang sangat
penting. Aku bisa merasakannya. Tiba-tiba aku merasakan sebuah rasa aneh yang
meluap-luap di dada yang setengah mati ku tahan. Sampai kami berhenti di balik
beranda. Dari belakang aku bisa menebak siapa orang ini. Apa mungkin... Beno!
seruku dalam hati. Ya, dia teman satu organisasi di sekolahku. Jabatannya
sebagai ketua dan aku sebagai wakil ketua membuat kami lebih sering berdiskusi dibandingkan
dengan anggota lain. Terutama jika sedang mengejar deadline tugas yang
diberikan. Kami pun akhirnya berhenti. Dia yang membelakangi rumah berdiri
tepat di samping kiriku dengan wajah datar. Aku memutar tubuhku sehingga aku
tiba-tiba bisa mengusap wajah tampannya dari mulai dahi hingga dagu seraya
berucap, “kamu gak papa kan? Baik-baik aja kan?” dengan tergesa sambil
berkali-kali menyentuh dahinya yang terasa agak basah dan terasa hangat, lalu
aku berkata dengan lega “Oh..udah lumayan.” Entah kenapa aku merasa dia sangat
berarti bagiku. Karena dia tidak kunjung sembuh dari sakitnya selama beberapa
hari membuatku sangat khawatir. Aku jadi keheranan setelah melihat dia
baik-baik saja, seperti tidak terjadi apa-apa.”Kamu jangan khawatir, aku
baik-baik aja kok.” Responnya datar. “Udah... gak usah terlalu dipikirin,
semuanya baik-baik aja.” Lanjutnya kalem tanpa merubah ekspresinya sedikitn
pun. Sejurus kemudian aku memeluknya dari samping, merengkuhnya dalam dekapan
erat lenganku. Aku merasakan kehangatan, kedamaian, dan kelegaan di sana.
Bahagia rasanya akhirnya aku bisa mengekspresikan rasa sayangku padanya.
Pada
saat bersamaan, aku melihat seorang lelaki sedang tersenyum di seberang tanah lapang
tersebut. Dia duduk di atas pohon tua yang rendah dengan balutan sweater coklat
tua dan jeans hitam. Embun pagi yang bersatu membentuk kabut tipis membuatku
tidak bisa mengenali wajah rupawannya dengan pasti. Samar-samar aku melihat dia
tersenyum pahit dengan tatapan sendu matanya, aku bisa merasakan kegetiran di
hatinya. Tiba-tiba saja aku teringat
sesuatu yang membuatku cepat-cepat melepaskan pelukanku. Sepertinya Beno tidak
menyadarinya, atau jangan-jangan tidak peduli. Terserahlah... yang jelas aku
sangat lega karenanya. Aneh sekali. Lalu kupandangi wajah tampan Beno, tidak
kalah dengan.. Uray!! Tiba-tiba saja memori otakku kacau. Kulempar lagi
pandanganku ke seberang sana. Hampa, dia sudah pergi entah kemana. Ada sedikit
sesal di hatiku. Tapi aku tak tahu kenapa. Sempat terbersit di benakku untuk
mengejar dan mencarinya, tapi pikiranku menyuruhku tetap diam dan membuatku
lebih memilih Beno. Yang paling membuatku heran adalah kenapa tiba-tiba yang
muncul adalah sosok Beno, figur yang tidak pernah aku angan-angankan, padahal
aku berniat menjenguk Uray yang sedang sakit berhari-hari. Tapi kenapa semuanya
menjadi kacau, dan ironisnya aku merasa biasa-biasa saja, seolah-olah memang
begini adanya dan yang semestinya terjadi.
Kemudian Beno mengajakku masuk ke
rumahnya. Di ruang tamu, ku lihat seorang wanita paruh baya sedang duduk santai
di atas karpet sambil memandangi kami lekat-lekat. Kami mendekatinya dan wanita
itu langsung menanyakan pendapatku tentang tata letak perabotan di rumah itu,
terutamai ruangan tamu. Belum sempat aku melihat-lihat isi rumah dan
berpendapat, tiba-tiba...